KHARTOUM – Situasi peperangan buntut perebutan kekuasaan di Sudan kian mengkhawatirkan. Bom-bom meledak. Baku tembak terdengar. Asap hitam mengepul di langit Khartoum. Total korban jiwa diperkirakan sudah lebih dari 100 orang dan 942 orang luka-luka. Jumlah itu kian bertambah setiap hari sejak perang meletus.
Sejatinya, kedua pihak yang bertikai sepakat untuk gencatan senjata beberapa jam pada Minggu (16/4) untuk mengevakuasi korban luka. Namun, baku tembak tidak berhenti. Utusan Khusus PBB untuk Sudan Volker Perthes menyatakan kecewa karena kubu militer maupun paramiliter Pasukan Dukungan Cepat (RSF) tidak mematuhi kesepakatan.
Sebelumnya, Khartoum tidak pernah menjadi medan utama pertempuran. Tak ayal, penduduk setempat pun panik. Mereka terjebak di rumah masing-masing tanpa stok makanan dan kebutuhan penting lainnya. Padahal, baku tembak antara militer dan RSF sudah memasuki hari ketiga. Hingga kemarin, belum ada tanda-tanda bakal berakhir.
’’Ini kali pertama dalam sejarah Sudan, terjadi tingkat kekerasan seperti ini di pusat, di Khartoum,’’ terang analis Sudan Kholood Khair seperti dikutip Agence France-Presse.
Pertempuran kemarin berpusat di Istana Republik, gedung komando militer, dan Bandara Internasional Khartoum. Otoritas Penerbangan Sipil Sudah menutup wilayah udara setelah pertempuran terjadi di area bandara. Baku tembak juga terjadi di kota-kota sekitar Khartoum. Kedua pihak berusaha menguasai fasilitas-fasilitas utama di ibu kota dan sekitarnya.
Saat ini, militer maupun RSF saling klaim menguasai markas besar Sudan Broadcasting Corporation di Omdurman. Kubu militer menyatakan, mereka telah merebut kembali kompleks tersebut dari RSF. Sedangkan kubu RSF kemarin merilis sebuah video di halaman Twitter mereka yang memperlihatkan salah satu gerbang kompleks gedung penyiaran itu dan mengklaim mengendalikannya.
Alyona Synenko dari Komite Palang Merah Internasional (ICRC) mengatakan, pertempuran yang sedang berlangsung di penjuru Sudan membuat rumah sakit kewalahan. Situasi penduduk sipil kian memburuk. ’’Prioritas saat ini adalah mendapatkan akses bagi petugas kesehatan seperti tim responden pertama agar mereka dapat memberikan perawatan darurat bagi yang terluka,’’ terang Synenko kepada Al Jazeera.
Sementara itu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperingatkan bahwa beberapa rumah sakit di Khartoum yang merawat warga sipil mulai kehabisan stok darah, peralatan transfusi, cairan infus, dan persediaan vital lainnya. Komunitas internasional menyerukan agar kedua pihak saling menahan diri dan berdialog.
Direktur Kantor Komisi Uni Afrika Mohamed El Hassan mengungkapkan, Dewan Perdamaian dan Keamanan Uni Afrika mengadakan pertemuan darurat di Addis Ababa. Mereka memutuskan meminta Presiden Komisi Moussa Faki Mahamat untuk datang ke Khartoum guna mengupayakan pertempuran segera berhenti tanpa syarat apa pun. Kedua pihak yang berkonflik duduk di meja perundingan.
